Monday, April 28, 2014

Jam Palsu Jenderal Moeldoko Ramai di Media Internasional

Detik.com - Awalnya hanya media gaya hidup Singapura saja yang memberitakan Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengoleksi jam-jam mewah, mulai Richard Mille hingga Audemars Piguet. Jenderal Moeldoko pun membantah mengoleksi jam mewah, yang dia punya adalah jam tiruan buatan China. Media internasional pun memberitakan perihal jam palsu Moeldoko ini.

Seperti BBC yang menuliskan judul 'Indonesia: Military chief 'collects fake watches'.

Media Singapura yang pertama menulis koleksi jam tangan Moeldoko, mothership.sg, juga menulis artikel berjudul 'Indonesia’s armed forces commander General Moeldoko said his watches are fakes'.

Media Inggris, Telegraph, juga membuat berita hari Jumat (25/4/2014) berjudul "'My chunky watch is a fake' cries Indonesia's top general".

Media AS Wall Street Journal menuliskan "What You Said: Indonesian General Has Taste for Flashy Fakes". Pun halnya dengan media Malaysia, Malaysian Digest yang menulis, "Indonesian General Says His Flashy Watch Is Fake."

Bahkan situs yang mengulas jam Moeldoko, mothership.sg juga memuat bantahan Moeldoko dengan berita berjudul "Indonesia’s armed forces commander General Moeldoko said his watches are fakes".
...more

Friday, April 25, 2014

Jenderal Moeldoko Mengaku Beli Jam Tangan Palsu

Kompas.com - Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengaku bahwa jam tangan miliknya yang dibicarakan masyarakat di Indonesia maupun internasional hanya barang tiruan. Ia mengaku membeli jam tangan itu seharga Rp 5 juta.

"Masa kayak gini orisinal," kata Moeldoko seusai bertemu dengan Panglima Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Emmanuel T Bautista di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (23/4/2014). Saat itu, ia menunjukkan jam tangan yang dibicarakan publik itu.

Moeldoko mengatakan, harga jual jam tangan asli di pasaran bisa mencapai lebih dari Rp 1 miliar. "Tapi, saya beli hanya Rp 5 juta," kata Moeldoko.

Moeldoko menambahkan, ia memang sengaja membeli jam tersebut karena mengagumi inovasi yang terdapat di dalamnya. "Karena saya begitu melihat, yang ada di pikiran saya adalah inovasi dan inovasi. Setiap kali lihat jam ini saya ingat inovasi dan inovasi. Jadi, bukan mau pamer," ucapnya.

Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu mengaku mengoleksi jam tangan dari berbagai merek. Namun, ia tak menyebutkan merek jam tangan apa saja yang dimilikinya.

"(Saya) kolektor spesialis jam. Ada se-ruko (jumlahnya)," katanya.

Ketika disinggung soal hak cipta, sambil tertawa Moeldoko menjawab, "Itu bukan urusan gua."

Jam tangan yang dipakai Moeldoko sempat disorot sejumlah media di Singapura pada awal pekan ini. Cerita jam tangan yang asli harganya di atas Rp 1 miliar itu segera beredar di dunia maya dan juga menjadi perbincangan para pengguna media sosial Facebook dan Twitter di Indonesia.

Situs www.themillenary.com menengarai bahwa jam tangan yang dipakai Jenderal Moeldoko adalah tipe Richard Mille RM 011 Felipe Massa Flyback Chronograph "Black Kite". Jam tangan tersebut adalah model terbaru dari tipe sejenis Felipe Massa Flyback Chronograph "Red Kite" yang keluar tahun 2011.

Yang membuatnya istimewa adalah karena jam tangan ini hanya diproduksi sangat terbatas. Alokasi untuk pasar Amerika Utara dan Amerika Selatan hanya 30 unit. Varian lainnya untuk pasar Asia hanya diproduksi 45 unit. Entah tipe dari mana yang dimiliki Moeldoko.
...more

Thursday, April 17, 2014

Caleg PKS Ini Akui Minta Kembalikan Dana "Money Politics"

 Kaharuddin memperlihatkan kuitansi pengembalian uang politik kepada Muhammad Jafar.
Kompas.com - Calon anggota legislatif dari PKS Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Muhammad Jafar, mengaku meminta kembali dana money politics karena kecewa hanya mendapat dua suara di TPS 07 Kampung Nelayan Mansapa.


Kepada Kompas.com, Muhammad Jafar mengaku memberikan uang kepada Kaharuddin, warga Kampung Nelayan Mansapa, karena sebelumnya ada jaminan akan mendapat 23 suara di TPS 07. Uang sebesar Rp 3,4 juta lebih itu dibagi dalam 23 amplop yang masing-masing berisi Rp 150.000.

“Dia (Kaharuddin) kan pernah ke rumah minta bantuan dana operasional. Katanya ada anggotanya 23 orang mendukung saya. Kalau enggak salah, sehari sebelum pencoblosan. Saya tidak pernah ke tempat orang itu. Saya berikan, kalau enggak salah begitu (dalam amplop) karena dia minta begitu. Tapi saya tidak tahu apakah uang itu dikasih ke orang atau bagaimana?” kata Muhammad Jafar saat dihubungi via telepon, Kamis (10/4/2014).

Mengetahui dirinya hanya mendapatkan dua suara di TPS 07 Kampung Nelayan Mansapa, Muhammad Jafar mengaku kecewa. Dia pun mengaku meminta kembali uang tersebut kepada Kaharuddin.

“Uang itu dipertanggungjawabkan karena kelihatannya tidak ada dukungan untuk saya. Tidak ada kasih dukungan kepada saya. Wajar saja (minta uang kembali), kita kan mengharap dukungan, dia minta uang operasional. Siapa yang tidak kecewa? Iya, dia mengembalikan kepada saya," kata Muhammad Jafar.

Muhammad Jafar mengaku mengenal Kaharuddin karena satu kampung dan satu wadah dalam organisasi kemasyarakatan.

“Itu (Kaharuddin) satu kampung dengan saya. Saya kan ketua Kerukunan Barru. Saya kan minta dukungan orang Barru. Bagaimana kita bersatu supaya ada yang duduk di DPR, begitu maksud kita. Kaharuddin ini termasuk orang Barru," ujarnya.
...more

Wednesday, April 16, 2014

Target Suara Tak Sampai, Caleg PAN Minta Warga Kembalikan Rp 50.000

Susilia Subardi
Kompas.com - Tiga orang warga Kelurahan Sabilambo, Kolaka, Sulawesi Tenggara, mendatangi kantor Panwas Kolaka, Jumat (11/4/2014). Lukaman, Helmiati, dan seorang lagi yang namanya enggan disebutkan datang untuk melaporkan Susilia Subardi, calon anggota legislatif Partai Amanat Nasional (PAN) dari dapil II Kolaka.

Mereka merasa terintimidasi oleh caleg tersebut lantaran sang caleg meminta uangnya untuk dikembalikan. Mereka pun dianggap pengkhianat sebab tidak memilih caleg tersebut saat proses pencoblosan beberapa hari yang lalu.

Menurut mereka, kekecewaan caleg berjilbab ini dimulai saat perhitungan suara di TPS para pelapor. Suara yang diperolehnya tidak sesuai dengan harapan. Sejak itu, lanjut Helmiati, si caleg mulai meminta kembali uang yang telah dikeluarkannya.

“Dia kasih kita itu Rp 50.000 untuk satu kepala pada tanggal 7 April. Dia bilang pilih saya. Pas selesai perhitungan suara, eh uangnya diminta lagi. Katanya kita ini pengkhianat. Uang itu saya kembalikan Rp 100.000 karena saya berdua dengan orang yang di rumah. Setelah itu, saya datang di Panwas ini untuk melapor,” ucap Helmiati.

Hal senada juga disampaikan warga lain, Lukman, yang juga ikut melapor. Menurutnya, saat caleg itu meminta uang kembali, dia pun berharap agar suaranya juga ikut ditarik.

“Saya bilang kalau uang mau kembali suara juga harus kembali. Tapi saya merasa terintimidasi, makanya saya ke KPUD, mereka bilang lapornya ke Panwas. Makanya saya datang kemari,” tambahnya.

Anggota Panwas Kolaka, Lukman, menegaskan menerima sejumlah uang sebagai barang bukti. Panwas akan segera memanggil caleg yang dimaksud untuk dikonfirmasi. Jika terbukti, lanjutnya, maka caleg tersebut akan dikenakan sanksi dan hukuman yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Barang bukti ada uang sekitar Rp 300.000. Kami sementara periksa yang melapor. Nanti setelah itu kita panggil lagi caleg yang dilaporkan itu. Kalau terbukti pasti kita hukum sesuai dengan aturan yang ada,” tutupnya.

Sampai saat ini Kompas.com masih berusaha menghubungi Susilia Subardi untuk mendapat konfirmasi terkait tudingan ini.
...more

Monday, April 14, 2014

Belum Ada Tempat Menyimpan, Benda Sejarah di Semarang Dikubur Lagi

Dewi Pramuningsih
Kompas.com - Penggalian terhadap sebuah kawasan sejarah yang diduga sebagai salah satu jejak Wangsa Syailendra di Dusun Ngreco, Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, ditutup pada 7 April lalu. Sebagian artefak yang ditemukan, seperti gerabah dan batu bata, sudah dibawa ke pusat penelitian. Sementara itu, temuan lain berupa umpak candi dan jaladwara terpaksa dikubur lagi di lokasi penggalian lantaran tidak ada tempat penyimpanan.

"Sementara kami kembalikan ke tempat penemuan terlebih dahulu. Keamanan kami titipkan ke masyarakat dan aparatnya," kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Semarang, Dewi Pramuningsih, saat dihubungi, Jumat (11/4/2014) siang.

Tim gabungan arkeolog menemukan sejumlah artefak, seperti gerabah, batu bata, umpak candi, dan jaladwara. Pada hari terakhir penggalian, bahkan tim berhasil mendapatkan petunjuk baru mengenai keberadaan sebuah candi.

Menurut Dewi, pihaknya telah melaporkan hasil temuan penggalian di Dusun Ngreco itu kepada Bupati Semarang, Mundjirin. Langkah tersebut dilakukan agar pemerintah kabupaten cepat mengambil kebijakan sistematis terkait penyelamatan temuan benda purbakala dan area penggalian yang tergolong kawasan cagar budaya di wilayah Tuntang tersebut.

"Dikbud belum punya tempat yang representatif. Kami baru koordinasi dengan (bagian) aset untuk mencari kemungkinan ada gedung yang bisa digunakan," ungkap Dewi.

Melawan mitos

Salah satu tugas berat pemerintah dalam rangka penyelamatan sejumlah benda purbakala di Dusun Ngreco ke depannya adalah melawan mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Warga setempat percaya jika benda-benda di lokasi penggalian diambil, akan membuat mata air di sekitar lokasi menjadi hilang. Oleh karena itu, perlu ada kajian dan pendekatan kepada masyarakat agar tidak ada yang merasa dirugikan.

"Di kalangan warga memang ada mitos, jika benda itu diambil, dikhawatirkan nantinya ada beberapa mata air yang hilang. (Sementara) kami memang mendukung langkah tim arkeologi untuk menimbun benda temuan setelah dilakukan registrasi dan dokumentasi," tambahnya.

Sebelumnya dikabarkan, tim gabungan arkeolog dari Pusat Arkeologi Nasional Jakarta bersama Balai Arkeologi UGM Yogyakarta, Geomorfologi ITB Bandung, dan Pusat Kebudayaan Perancis di Jakarta itu, melakukan penggalian di Dusun Ngreco, Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, untuk mencari jejak peninggalan Wangsa Sailendra di Pulau Jawa.

Tim ini juga sebelumnya melakukan hal yang sama di Kabupaten Tegal, Pekalongan, dan Batang. Salah satu temuan yang menarik di wilayah Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, adalah adanya petirtaan dan jalan tembus ke Candi Dieng, Kabupaten Wonosobo.
...more

Kenapa Pesawat Kepresidenan RI Berwarna Biru?

Sudi Silalahi
Detik.com - Pesawat Boeing Business Jet-2 milik presiden Indonesia didominasi warna biru yang dibalut dengan garis merah putih. Apa alasan pemerintah memilih desain tersebut?

Mensesneg Sudi Silalahi mengatakan, warna tersebut bukan ditentukan oleh Presiden SBY namun ada pertimbangan khusus dari desainer.

"Memang kenapa apa ada masalah dengan warna? Lagipula warna ini bukan pilihan Presiden untuk menentukan, kenapa biru, di sini ada desainer juga," kata Sudi usai upacara serah terima pesawat di Halim Perdanakusumah, Jaktim, Kamis (10/4/2014).

Menurut Sudi, faktor keamanan jadi salah isu yang mendasari pemilihan warna tersebut. "Warna biru di dalam arti security penerbangan. Warna biru bisa berkamuflase sehingga bisa sama dengan warna langit," ungkapnya.

Sejak awal, ada 14 alternatif warna yang diajukan pada pemerintah. Setelah dilakukan polling ke beberapa pejabat terkait, akhirnya dipilihlah desain tersebut.

"Sesuai juga dengan warna seragam milik TNI AU yang warna biru karena nanti pesawat ini akan dioperasikan Angkatan Udara. Saya kira itu ya dan cukup jelas," tegasnya.

Pesawat tersebut kini sudah berada di Halim untuk dites dan dicek kelayakannya. Rencananya, Presiden SBY baru akan menggunakannya dalam waktu dekat.
...more

Thursday, April 10, 2014

Karyawan RSCM Tak Bisa Mencoblos

Kompas.com - Akibat tidak ada konfirmasi dari petugas Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sejumlah pekerja batal masuk daftar pemilih tambahan di Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.

"Perwakilan RSCM waktu itu bilang mau kasih nama ke kelurahan, tapi sampai sekarang enggak ada," kata Sekretaris Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Kenari, Sunardi, kepada Kompas.com, Rabu (9/4/2014).

Menurut Sunardi, seorang petugas RSCM telah mendatangi kantor Kelurahan Kenari sepekan lalu. Petugas tersebut mengatakan hendak memberikan 251 nama karyawan kepada petugas PPS kelurahan untuk dimasukkan ke dalam daftar pemilih tambahan. Hal itu, karena sejumlah karyawan tersebut dijadwalkan akan mencoblos ketika sedang bekerja.

Namun, hingga pemungutan suara berlangsung hari ini, PPS Kelurahan Kenari tidak menerima data tersebut.

Sunardi maupun anggota PPS Kelurahan Kenari yang lain tidak mengetahui pasti alasan data tersebut tidak jadi diberikan. Ia menduga ada perubahan kebijakan mengenai pencoblosan yang ditetapkan petugas rumah sakit.

Menurut Sunardi, para karyawan RSCM akan dirujuk ke tempat pemungutan suara (TPS) nomor 15 bila masuk dalam daftar pemilih tambahan. Namun, bila dapat menunjukkan surat A5 dari kelurahan tempat tinggal sebagai tanda pindah TPS, maka mereka tetap dapat ikut mencoblos di sana.

TPS tersebut terletak paling dekat dari RSCM. TPS di Jalan Kenari tersebut berjarak 200 meter dari RSCM. Hingga pukul 09.15 WIB, tidak ada karyawan maupun pasien RSCM yang telah terdaftar memilih di sana.

Beberapa karyawan yang bekerja di RSCM mengakui tidak mencoblos pada pemilu ini. "Tahun ini agak enggak jelas infonya, soalnya TPS udah enggak ada di sini (RSCM)," kata Mala, perawat di RSCM.

Menurut Mala, karena tahun ini tak dibangun TPS di RSCM, karyawan yang bekerja pada hari itu dibebaskan untuk memilih di mana saja. Namun, bila ingin memilih di TPS sekitar rumah sakit, mereka harus mengurus sendiri kelengkapan pemindahan pemilihan tersebut. Karena belum sempat mengurus, dia pun golput.

Yahrul, sekuriti di RSCM, juga mengatakan bahwa jam kerja yang dimulai sejak pukul tujuh pagi hingga pukul dua siang membuatnya melepaskan hak suaranya. Sebab, jarak antara tempat tinggalnya di Depok dengan RSCM terpaut jauh, sehingga ia tak dapat menyoblos di TPS dekat rumahnya karena sudah tutup.

Menurut Yahrul, petugas rumah sakit awalnya berniat mengumpulkan surat A5, namun karena tak ada koordinasi hal tersebut batal dilakukan.
...more

Friday, April 04, 2014

Dituduh Mencuri Uang, Seekor Kelelawar Ditangkap Warga

Kompas.com - Seorang warga Kedung Sari, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, menangkap seekor kelelawar yang diyakini kerap mencuri uang. Kelelawar tersebut mereka sebut sebagai "Pok-kopok".

Kelelawar itu diyakini sebagai hewan jadi-jadian yang dikirim seseorang berniat jahat ke rumah warga. Adalah Djalil (52), warga setempat yang menangkap "Pok-kopok", kelelawar berwarna oranye dengan sayap bergaris hitam. Dia menaruh hewan tersebut di dalam stoples dan kini menjadi tontonan warga yang penasaran.

Menurut Djalil, Senin (31/3/2014), hewan itu masuk ke dapur rumahnya dua kali. Ketika "Pok-kopok" ke rumahnya, Djalil mengaku tiba-tiba kehilangan uang. Karenanya, Djalil dan warga lain menuduh hewan itu pencuri uang.

Hewan jadi-jadian itu ditangkap oleh Djalil pada Minggu (30/3/2014) malam dengan cara yang aneh, yakni dengan telanjang dan menggunakan sapu lidi.

“Saya sempat tanya pada dukun, menangkap 'Pok-kopok', syaratnya harus telanjang bulat dan pakai sapu lidi. Makanya saya langsung menangkapnya dengan telanjang, setelah itu kelelawar ini masuk lagi ke rumah saya,” katanya.

Tanpa dibantu saudara dan istrinya, Djalil menangkap hewan tersebut sendirian. Hasilnya, hewan yang diduga dikirim oleh orang lain itu ditangkap, kemudian dimasukkan ke stoples.

“Saat ditangkap, saya kebingungan mau diletakkan di mana, istri saya langsung mengambil stoples, kemudian saya letakan di dalamnya. Biar enggak ke rumah lain,” ujar Djalil, guru SD ini.

Penemuan kelelawar itu pun dikait-kaitkan oleh warga yang banyak kehilangan uang dengan kisaran Rp 50.000 hingga Rp 250.000 yang di simpan di dalam kamar rumahnya.

Amin, warga setempat, menyebutkan, selama ini warga memang kerap kehilangan uang. “Saya sendiri juga merasakan kehilangan uang setelah disimpan di dalam kamar. Mungkin 'Pok-kopok' ini yang mencuri, dan selama ini meresahkan warga,” tukasnya.
...more

Thursday, April 03, 2014

Layanan Kesehatan untuk ODHA di Banyuwangi Memprihatinkan

Kompas.com - Kondisi penderita HIV/ADIS di Banyuwangi cukup memprihatinkan. Selain harus merahasiakan penyakitnya, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) juga tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit karena tidak mempunyai biaya.

YM (32), pengidap HIV/ADIS tinggal di rumah sederhana bersama kedua orangtuanya yang sudah tua di Banyuwangi. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia menerima jahitan dari tetangga sekitarnya.

"Kalau nggak ada jahitan, yang ngerjain apa saja yang dimintai tolong sama tetangga. Ya, bersih-bersih rumah atau bantu di kebun," jelasnya kepada Kompas.com.

YM adalah ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS sejak tahun 2012. Suami dari pernikahan pertama dan kedua telah meninggal dunia.

"Saat suami yang pertama meninggal, saya tidak tahu penyakitnya. Namun jika suami saya kedua meninggal dengan penyakit yang sama dengan saya saat ini di awal tahun 2012, termasuk anak saya yang berusia 5 tahun," jelasnya.

Akhirnya secara mandiri YM melakukan Voluntary Counseling Test (VCT) untuk mengetahui kondisi kesehatannya.

"Awalnya saya takut tapi saya juga ingin tahu kondisi saya. Saat mengetahui hasilnya positif, saya hanya mengucapkan istghfar. Saya sempat berpikir dosa apa saya. Tapi saya terima kenyataan. Sayangnya, saya tidak bisa menyelamatkan anak saya. Dia meninggal lebih dahulu di tahun 2012 lalu," tuturnya.

Saat terdeteksi, YM mengaku sering mengunjungi klinik VCT di RSUD Genteng. Namun, sejak 3 bulan terakhir, dia sudah jarang memeriksakan diri ke RSUD Genteng karena alasan biaya.

"Kalau ke sana saya kan harus naik bus. Pulang pergi sudah berapa uang yang harus dikeluarkan. Mau minta antar tetangga segan. Apalagi pernah ke sana saya dimintai biaya 25 ribu rupiah. Biasanya gratis," jelasnya.

Ia mengaku lupa kapan ke rumah sakit terakhir kali untuk mengambil obat. "Jangankan untuk bayar transport dan bayar 25 ribu, saya sehari dapatkan uang 5.000 saja susah. Karena tidak mungkin mengandalkan orangtua saya yang hanya buruh tani dan juga sudah sepuh," jelasnya.

Ia juga menyembunyikan penyakitnya itu dari kedua orangtuanya. "Agar mereka tidak kepikiran. Cukup saya saja yang menanggung penyakit ini," katanya.

Secara fisik, YM terlihat sehat seperti orang pada umumnya. Dia berusaha menjaga pola hidup sehat walaupun berat tubuhnya turun drastis.

"Gimana caranya tidak terlalu capek. Rasanya pingin sekali sembuh, tapi lagi-lagi saya nggak ada biaya," jelasnya dengan suara pelan.

Saat ditanya apakah ia mempunyai kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dia menggeleng kepala dan mengaku tidak tahu. "Saya nggak paham," tutur perempuan lulusan SMP tersebut.

Hal senada juga diungkapkan G (37). Ia terdeteksi HIV AIDS sejak 2011. Saat ini, pria yang sebelumnya bekerja sebagai nelayan itu tinggal bersama kerabatnya. Istri dan anak-anaknya pergi meninggalkan G saat mereka tahu penyakit yang dideritanya.

Awalnya G mengaku rutin memeriksakan diri, tetapi kondisi kesehatannya yang semakin menurun, membuat dia sulit bergerak. Jangankan untuk memeriksakan kesehatan, untuk berjalan saja G harus dibantu oleh keluarganya.

"Sekarang sudah jadi kembange amben (bunganya tempat tidur). Nggak bisa kemana-mana," jelasnya.

"Untuk biaya hidup sehari-hari saya numpang sama keluarga di sini karena saya sudah nggak kuat bekerja. Jangan bicara buat berobat, bisa makan saja saya beruntung," katanya.

Kepada Kompas.com ia juga menunjukkan kulit tubuhnya yang sudah mulai terluka. "Apalagi ini sudah sariawan, jadi susah makannya. Cuma bubur, itu pun buat nelan sakit," katanya.

Belum terlayani dengan baik

Sementara itu, Novan Widianto Koordinator Banyuwangi Community Suport yang mendampingi penderita HIV AIDS kepada Kompas.com mengaku masih banyak penderita HIV/AIDS yang masih belum terlayani secara baik.

Apalagi, kata Novan, sejak munculnya Perda No 12 tahun 2013 tentang Retribusi Jasa Umum per Maret 2014. Untuk mendapatkan pelayanan care support and treatment atau pengobatan dampingan dan perawatan, mereka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 25.000. Padahal sebelumnya gratis.

"Sedangkan mereka yang dinyatakan positif, minimal satu bulan sekali harus datang untuk konsultasi dan juga obat," jelasnya.

Bukan hanya itu, VCT di RSUD Genteng yang awalnya gratis pun ditarik biaya. Untuk nonreaktif, biayanya Rp 87.450 dengan rincian karcis Rp 10.000, jasa konseling pre dan post test Rp 25.000 serta cek reagen 1 sebesar Rp 52.450.

"Sedangkan jika reaktif, maka biaya yang harus dikeluarkan lebih besar yaitu Rp 192.350. Itu tambahan untuk reagen II dan reagen III dengan biaya masing-masing Rp 52.450," jelas Novan sambil menunjukkan lembaran pemberitahuan tarif jasa layanan konseling dan testing HIV/AIDS pasien rawat jalan, kepada Kompas.com.

Novan mengaku banyak dampingannya yang merasa kecewa dengan penarikan biaya tersebut. Menurutnya, VCT itu sebenarnya sifatnya sukarela, jadi tidak bisa dipaksa. Mereka yang berisiko, saat diantar untuk tes, tidak sedikit yang balik kanan karena harus mengeluarkan biaya.

"Itu baru yang test VCT. Belum lagi jika mereka dinyatakan positif yang juga dikenai biaya 25 ribu setiap kali berkunjung untuk konsultasi. Hampir sebagian besar, ya keberatan," jelasnya.

Apalagi, sebelumnya, menurut Novan, sosialiasasi dan eduksi terkait penarikan biaya tersebut masih minim. "Padahal selama ini kami memberikan informasi jika VCT gratis dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sendiri mempunyai target tahun 2015, pelayanan VCT di Banyuwangi sudah 100 persen," tuturnya.

Harus bayar jasa konseling

Saat dikonfirmasi, Samsul Hidayat, koodinator VCT RSUD Genteng menyatakan, obat untuk penderita HIV/AIDS yaitu ARV (antiretroviral) adalah gratis. Sementara biaya Rp 25.000 merupakan kebijakan dari rumah sakit untuk biaya  karcis dan jasa konseling.

"Mereka juga bisa melakukan VCT di beberapa puskesmas tanpa biaya. Ada 15 puskesmas yang sudah melayani VCT. Sedangkan untuk RSUD Genteng sendiri melakukan koordinasi dengan 6 pusksesmas yang juga melayani VCT, yaitu Sempu, Grajagan, Purwoharjo, Muncar, Pesanggaran dan Bangorejo. Jika mereka dinyatakan positif maka akan di arahkan ke sini," jelasnya.

Samsul Hidayat mengaku per Desember 2013, ada 726 pasien yang ditangani. "Jika dibuat rata-rata ada 15 pasien temuan baru," jelasnya.

Ia menjelaskan, selama penerapan BPJS per 1 Januari 2014, pelayanan terhadap penderita HIV/AIDS sedikit ada perubahan.

"Karena HIV/AIDS tidak masuk dalam kategori penyakit yang dilayani. Yang bisa dilayani, penyakit turunan seperti penyakit kulit, sariawan dan juga TBC, karena sebagian besar penderita HIV AIDS juga terkena penyakit tersebut," jelasnya.

Untuk pelayanannya, lanjut Samsul Hidayat, mereka harus dapat rekomendasi dari puskesmas terlebih dahulu, ditujukan ke poli, baru kemudian diarahkan ke poli VCT. "Kalau sebelumnya, ya langsung tanpa rekomendasi dari puskesmas," tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan Plt Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, Wiji Lestariono. Kepada Kompas.com, ia menjelaskan, penarikan retribusi merupakan kebijakan dari rumah sakit.

"HIV/AIDS di Banyuwangi sementara dibiayai berbagai sumber-sumber internasional dari global fund. Tapi ini tidak selamanya, karena pada tahun 2015 nanti bantuan ini akan berhenti," katanya.

Menurutnya, setiap tahun juga ada penurunan jumlah bantuan, sehingga pihaknya harus mempersiapkan bagaimana caranya agar bisa mandiri.

"Salah satunya ya memasukkan anggaran khusus di tahun 2015 untuk pencegahan HIV/AIDS," jelasnya.

Untuk tahun 2014, ia mengaku belum ada anggaran khusus untuk membiayai para penderita HIV/AIDS. "Nanti anggaran akan dimasukkan di pencegahan dan pemberantasan penyakit," katanya.

Pria yang akrab disapa dokter Rio ini juga menjelaskan, hingga Januari 2014, terdapat 1.703 penderita HIV/AIDS di Banyuwangi.

"Kalau Surabaya memang jumlah penduduknya lebih banyak dibandingkan Banyuwangi. Malang juga mobilitasnya penduduknya tinggi. Namun hingga tahun 2014 ini, Banyuwangi berada di posisi ketiga tertinggi di Jawa Timur setelah Surabaya dan Malang," pungkasnya.
...more