Showing posts with label Perda. Show all posts
Showing posts with label Perda. Show all posts

Thursday, April 03, 2014

Layanan Kesehatan untuk ODHA di Banyuwangi Memprihatinkan

Kompas.com - Kondisi penderita HIV/ADIS di Banyuwangi cukup memprihatinkan. Selain harus merahasiakan penyakitnya, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) juga tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit karena tidak mempunyai biaya.

YM (32), pengidap HIV/ADIS tinggal di rumah sederhana bersama kedua orangtuanya yang sudah tua di Banyuwangi. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia menerima jahitan dari tetangga sekitarnya.

"Kalau nggak ada jahitan, yang ngerjain apa saja yang dimintai tolong sama tetangga. Ya, bersih-bersih rumah atau bantu di kebun," jelasnya kepada Kompas.com.

YM adalah ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS sejak tahun 2012. Suami dari pernikahan pertama dan kedua telah meninggal dunia.

"Saat suami yang pertama meninggal, saya tidak tahu penyakitnya. Namun jika suami saya kedua meninggal dengan penyakit yang sama dengan saya saat ini di awal tahun 2012, termasuk anak saya yang berusia 5 tahun," jelasnya.

Akhirnya secara mandiri YM melakukan Voluntary Counseling Test (VCT) untuk mengetahui kondisi kesehatannya.

"Awalnya saya takut tapi saya juga ingin tahu kondisi saya. Saat mengetahui hasilnya positif, saya hanya mengucapkan istghfar. Saya sempat berpikir dosa apa saya. Tapi saya terima kenyataan. Sayangnya, saya tidak bisa menyelamatkan anak saya. Dia meninggal lebih dahulu di tahun 2012 lalu," tuturnya.

Saat terdeteksi, YM mengaku sering mengunjungi klinik VCT di RSUD Genteng. Namun, sejak 3 bulan terakhir, dia sudah jarang memeriksakan diri ke RSUD Genteng karena alasan biaya.

"Kalau ke sana saya kan harus naik bus. Pulang pergi sudah berapa uang yang harus dikeluarkan. Mau minta antar tetangga segan. Apalagi pernah ke sana saya dimintai biaya 25 ribu rupiah. Biasanya gratis," jelasnya.

Ia mengaku lupa kapan ke rumah sakit terakhir kali untuk mengambil obat. "Jangankan untuk bayar transport dan bayar 25 ribu, saya sehari dapatkan uang 5.000 saja susah. Karena tidak mungkin mengandalkan orangtua saya yang hanya buruh tani dan juga sudah sepuh," jelasnya.

Ia juga menyembunyikan penyakitnya itu dari kedua orangtuanya. "Agar mereka tidak kepikiran. Cukup saya saja yang menanggung penyakit ini," katanya.

Secara fisik, YM terlihat sehat seperti orang pada umumnya. Dia berusaha menjaga pola hidup sehat walaupun berat tubuhnya turun drastis.

"Gimana caranya tidak terlalu capek. Rasanya pingin sekali sembuh, tapi lagi-lagi saya nggak ada biaya," jelasnya dengan suara pelan.

Saat ditanya apakah ia mempunyai kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dia menggeleng kepala dan mengaku tidak tahu. "Saya nggak paham," tutur perempuan lulusan SMP tersebut.

Hal senada juga diungkapkan G (37). Ia terdeteksi HIV AIDS sejak 2011. Saat ini, pria yang sebelumnya bekerja sebagai nelayan itu tinggal bersama kerabatnya. Istri dan anak-anaknya pergi meninggalkan G saat mereka tahu penyakit yang dideritanya.

Awalnya G mengaku rutin memeriksakan diri, tetapi kondisi kesehatannya yang semakin menurun, membuat dia sulit bergerak. Jangankan untuk memeriksakan kesehatan, untuk berjalan saja G harus dibantu oleh keluarganya.

"Sekarang sudah jadi kembange amben (bunganya tempat tidur). Nggak bisa kemana-mana," jelasnya.

"Untuk biaya hidup sehari-hari saya numpang sama keluarga di sini karena saya sudah nggak kuat bekerja. Jangan bicara buat berobat, bisa makan saja saya beruntung," katanya.

Kepada Kompas.com ia juga menunjukkan kulit tubuhnya yang sudah mulai terluka. "Apalagi ini sudah sariawan, jadi susah makannya. Cuma bubur, itu pun buat nelan sakit," katanya.

Belum terlayani dengan baik

Sementara itu, Novan Widianto Koordinator Banyuwangi Community Suport yang mendampingi penderita HIV AIDS kepada Kompas.com mengaku masih banyak penderita HIV/AIDS yang masih belum terlayani secara baik.

Apalagi, kata Novan, sejak munculnya Perda No 12 tahun 2013 tentang Retribusi Jasa Umum per Maret 2014. Untuk mendapatkan pelayanan care support and treatment atau pengobatan dampingan dan perawatan, mereka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 25.000. Padahal sebelumnya gratis.

"Sedangkan mereka yang dinyatakan positif, minimal satu bulan sekali harus datang untuk konsultasi dan juga obat," jelasnya.

Bukan hanya itu, VCT di RSUD Genteng yang awalnya gratis pun ditarik biaya. Untuk nonreaktif, biayanya Rp 87.450 dengan rincian karcis Rp 10.000, jasa konseling pre dan post test Rp 25.000 serta cek reagen 1 sebesar Rp 52.450.

"Sedangkan jika reaktif, maka biaya yang harus dikeluarkan lebih besar yaitu Rp 192.350. Itu tambahan untuk reagen II dan reagen III dengan biaya masing-masing Rp 52.450," jelas Novan sambil menunjukkan lembaran pemberitahuan tarif jasa layanan konseling dan testing HIV/AIDS pasien rawat jalan, kepada Kompas.com.

Novan mengaku banyak dampingannya yang merasa kecewa dengan penarikan biaya tersebut. Menurutnya, VCT itu sebenarnya sifatnya sukarela, jadi tidak bisa dipaksa. Mereka yang berisiko, saat diantar untuk tes, tidak sedikit yang balik kanan karena harus mengeluarkan biaya.

"Itu baru yang test VCT. Belum lagi jika mereka dinyatakan positif yang juga dikenai biaya 25 ribu setiap kali berkunjung untuk konsultasi. Hampir sebagian besar, ya keberatan," jelasnya.

Apalagi, sebelumnya, menurut Novan, sosialiasasi dan eduksi terkait penarikan biaya tersebut masih minim. "Padahal selama ini kami memberikan informasi jika VCT gratis dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sendiri mempunyai target tahun 2015, pelayanan VCT di Banyuwangi sudah 100 persen," tuturnya.

Harus bayar jasa konseling

Saat dikonfirmasi, Samsul Hidayat, koodinator VCT RSUD Genteng menyatakan, obat untuk penderita HIV/AIDS yaitu ARV (antiretroviral) adalah gratis. Sementara biaya Rp 25.000 merupakan kebijakan dari rumah sakit untuk biaya  karcis dan jasa konseling.

"Mereka juga bisa melakukan VCT di beberapa puskesmas tanpa biaya. Ada 15 puskesmas yang sudah melayani VCT. Sedangkan untuk RSUD Genteng sendiri melakukan koordinasi dengan 6 pusksesmas yang juga melayani VCT, yaitu Sempu, Grajagan, Purwoharjo, Muncar, Pesanggaran dan Bangorejo. Jika mereka dinyatakan positif maka akan di arahkan ke sini," jelasnya.

Samsul Hidayat mengaku per Desember 2013, ada 726 pasien yang ditangani. "Jika dibuat rata-rata ada 15 pasien temuan baru," jelasnya.

Ia menjelaskan, selama penerapan BPJS per 1 Januari 2014, pelayanan terhadap penderita HIV/AIDS sedikit ada perubahan.

"Karena HIV/AIDS tidak masuk dalam kategori penyakit yang dilayani. Yang bisa dilayani, penyakit turunan seperti penyakit kulit, sariawan dan juga TBC, karena sebagian besar penderita HIV AIDS juga terkena penyakit tersebut," jelasnya.

Untuk pelayanannya, lanjut Samsul Hidayat, mereka harus dapat rekomendasi dari puskesmas terlebih dahulu, ditujukan ke poli, baru kemudian diarahkan ke poli VCT. "Kalau sebelumnya, ya langsung tanpa rekomendasi dari puskesmas," tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan Plt Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, Wiji Lestariono. Kepada Kompas.com, ia menjelaskan, penarikan retribusi merupakan kebijakan dari rumah sakit.

"HIV/AIDS di Banyuwangi sementara dibiayai berbagai sumber-sumber internasional dari global fund. Tapi ini tidak selamanya, karena pada tahun 2015 nanti bantuan ini akan berhenti," katanya.

Menurutnya, setiap tahun juga ada penurunan jumlah bantuan, sehingga pihaknya harus mempersiapkan bagaimana caranya agar bisa mandiri.

"Salah satunya ya memasukkan anggaran khusus di tahun 2015 untuk pencegahan HIV/AIDS," jelasnya.

Untuk tahun 2014, ia mengaku belum ada anggaran khusus untuk membiayai para penderita HIV/AIDS. "Nanti anggaran akan dimasukkan di pencegahan dan pemberantasan penyakit," katanya.

Pria yang akrab disapa dokter Rio ini juga menjelaskan, hingga Januari 2014, terdapat 1.703 penderita HIV/AIDS di Banyuwangi.

"Kalau Surabaya memang jumlah penduduknya lebih banyak dibandingkan Banyuwangi. Malang juga mobilitasnya penduduknya tinggi. Namun hingga tahun 2014 ini, Banyuwangi berada di posisi ketiga tertinggi di Jawa Timur setelah Surabaya dan Malang," pungkasnya.
...more

Saturday, October 09, 2010

Ketahuan Berjualan, Warga Dihukum Cambuk

Liputan6.com - Eksekusi hukum cambuk dilaksanakan di Depan Masjid Al Munawarah, Kota Jantho, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam, Jumat (1/10). Tiga warga dicambuk karena ketahuan berjualan makanan di bulan Ramadan lalu. Tindakan tersebut melanggar Peraturan Daerah NAD.

Wanita berinisial MRN dicambuk sebanyak tiga kali. Temannya dicambuk dua kali. Seorang pria berinisial FACH juga ikut dicambuk karena berjudi di warung internet. Hukumannya delapan kali cambukan.

Pihak Satuan Polisi Pamong Praja Aceh dan Dinas Syariat Islam Aceh berdalih, hukuman tersebut berlaku bagi semua warga negara. Hukuman ini pula yang paling mudah dilaksanakan. Video
...more

Sunday, June 13, 2010

Pemkab Larang Express Air

Kompas.com - Pemerintah Kabupaten Aru, Maluku, melarang maskapai penerbangan Express Air untuk beroperasi di Bandara Dobo, Aru. Padahal, maskapai itu telah mendapat izin dari Departemen Perhubungan guna melayani rute penerbangan Ambon-Dobo.

Kepala Satuan Kerja Bandara Dobo Sudarto, Jumat (11/6), mengatakan Express Air dilarang beroperasi di Dobo setelah maskapai penerbangan itu dua kali melayani penerbangan Ambon-Dobo bulan Mei lalu. ”Express Air tidak dapat izin Bupati Aru Theddy Tengko,” katanya.

Sudarto menyayangkan kejadian ini karena pemerintah daerah bertindak di luar kewenangannya. Operasional maskapai penerbangan di bandara mana pun dan rute penerbangan yang dilayani hanya memerlukan izin dari Departemen Perhubungan.

”Tidak ada aturan maskapai harus minta izin ke pemerintah daerah,” tambahnya.

Dengan dilarangnya Express Air, hanya Trigana Air yang beroperasi di Dobo. Trigana Air melayani rute penerbangan Ambon-Dobo setiap hari, kecuali hari Minggu. Maskapai ini beroperasi sejak April, setelah landasan di Bandara Dobo diperpanjang menjadi 1.100 meter. Perpanjangan landasan menghabiskan dana APBN Rp 11,3 miliar.

Station Supervisor Express Air di Bandara Pattimura, Ambon, Maluku Fanny Prasetyo mengatakan, meski izin pemda tidak diharuskan, pihaknya menghormati larangan pemda.

Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Aru Rony Anggrek mengatakan, Express Air dilarang karena tak meminta izin ke Bupati Aru sebelum beroperasi di Bandara Dobo. Izin itu diperlukan karena bandara berada di wilayah Pemkab Aru.


...more

Thursday, May 13, 2010

Label Haram Alat untuk Tarik Retribusi

Detik.com - Ketua Pansus IV DPRD Kota Bandung Tomtom Dabbul Qomar mengatakan pelabelan haram pada botol miras berfungsi untuk mengontrol jumlah peredaran minuman berlakohol. Selain itu label tersebut juga bisa dijadikan alat untuk menarik retribusi.

"Nantinya ada dua label, satu label cukai, satu label dari Disindag yaitu label haram. Boleh tidaknya (retribusi-red) kita akan mengundang bea cukai minggu depan," tutur Tomtom

Dijelaskan Tomtom data nasional menyebutkan ada 4 juta merek miras legal di Indonesia berbanding 48 juta botol miras ilegal per tahunnya.

"Itu data nasional seperti itu berarti sangat banyak sekali, maka di Bandung kita ketatkan pengawasan," ungkapnya.

Saat ini menurut Tomtom para pengecer atau distributor untuk mendapatkan minuman beralkohol impor harus mengurus ke bea cukai tanpa melalui Disindag. "Sekarang dengan adanya raperda, jalur tersebut dipotong oleh Disindag," pungkasnya.


...more

Wednesday, January 13, 2010

Nasi Bungkus pun Kena Pajak di Pekanbaru

Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru agaknya tengah meningkatkan pendapatan asli daerah lewat sektor pajak. Sampai-sampai, nasi bungkus di kota itu pun dikenakan pajak 10 persen.

Pajak terhadap nasi bungkus itu tertuang dalam Perda No 6/2006. Kebijakan itu berlaku bagi seluruh rumah makan dan restoran di Pekabaru. Nilai pajak ini 10 persen dari hasil penjualan. Sehingga setiap konsumen membeli nasi bungkus, maka harganya akan naik 10 persen dari harga normal.

Penerapan pajak nasi bungkus ini menuai protes para kalangan pengusaha rumah makan. Mereka menilai, Perda ini melemahkan daya jual nasi bungkus. Saat ini rata-rata nasi bungkus yang dijual minimal Rp 10 ribu. Dengan penerapan Perda No 6/2006, mau tidak mau konsumen harus membayar nasi bungkus menjadi Rp11 ribu.

"Sekarang ini saja penjualan kami terus merosot. Kok sekarang ada Perda lagi yang mengatur pajak setiap nasi bungkus. Ini sangat memberatkan kami. Dengan pajak ini mau tidak mau kami harus menaikkan harga nasi bungkus demi membayar pajak ke Pemkot Pekanbaru," keluh Nurmalah, pemilik rumah makan di Jl Tuanku Tambusai kepada detikcom, Senin (11/01/2010).

Pemilik rumah makan mengaku tidak kuasa menolak penerapan Perda yang dianggap pajak berganda itu. Sebab, Pemkot Pekanbaru tidak akan memperpanjang izin usaha mereka jika menolak kebijakan tersebut.

"Kalau kami tidak melaksanakannya, ancaman serius akan kami dapatkan, misalnya surat izin usaha yang saban tahun harus diperpanjang bisa dihentikan. Mau tidak mau kami harus menaikan harga nasi bungkus," keluh Nur.

...more

Tuesday, August 11, 2009

Wali Kota Berencana "Halalkan" Bogor


Wali Kota Diani Budiarto (PKS) berencana untuk menjadikan Bogor, Jawa Barat, sebagai kota halal. "Semua produk yang [dijual] di Bogor harus bersertifikat halal," kata Diani, Jumat (31/7). Namun demikian, Diani tetap akan memperhatikan warga nonmuslim.
Tidak semua masyarakat sepakat dengan rencana sang Wali Kota. Sebab untuk saat ini banyak masalah yang lebih penting untuk dibicarakan. "Mending yang dipikirin itu tentang sekolah yang makin mahal dan angkutan yang semrawut," kata Nurhayati, salah seorang warga.
Lembaga sosial keagamaan, Wahid Institute juga menganggap menjadikan Kota Hujan sebagai kota halal butuh telaah lebih lanjut. "Bogor kota milik siapa? kata Rumadi, pengamat isu sosial keagamaan. Dengan semua kritik yang mengemuka, masihkah Bogor akan dihalalkan? Video