Thursday, April 03, 2014

Layanan Kesehatan untuk ODHA di Banyuwangi Memprihatinkan

Kompas.com - Kondisi penderita HIV/ADIS di Banyuwangi cukup memprihatinkan. Selain harus merahasiakan penyakitnya, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) juga tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit karena tidak mempunyai biaya.

YM (32), pengidap HIV/ADIS tinggal di rumah sederhana bersama kedua orangtuanya yang sudah tua di Banyuwangi. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia menerima jahitan dari tetangga sekitarnya.

"Kalau nggak ada jahitan, yang ngerjain apa saja yang dimintai tolong sama tetangga. Ya, bersih-bersih rumah atau bantu di kebun," jelasnya kepada Kompas.com.

YM adalah ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS sejak tahun 2012. Suami dari pernikahan pertama dan kedua telah meninggal dunia.

"Saat suami yang pertama meninggal, saya tidak tahu penyakitnya. Namun jika suami saya kedua meninggal dengan penyakit yang sama dengan saya saat ini di awal tahun 2012, termasuk anak saya yang berusia 5 tahun," jelasnya.

Akhirnya secara mandiri YM melakukan Voluntary Counseling Test (VCT) untuk mengetahui kondisi kesehatannya.

"Awalnya saya takut tapi saya juga ingin tahu kondisi saya. Saat mengetahui hasilnya positif, saya hanya mengucapkan istghfar. Saya sempat berpikir dosa apa saya. Tapi saya terima kenyataan. Sayangnya, saya tidak bisa menyelamatkan anak saya. Dia meninggal lebih dahulu di tahun 2012 lalu," tuturnya.

Saat terdeteksi, YM mengaku sering mengunjungi klinik VCT di RSUD Genteng. Namun, sejak 3 bulan terakhir, dia sudah jarang memeriksakan diri ke RSUD Genteng karena alasan biaya.

"Kalau ke sana saya kan harus naik bus. Pulang pergi sudah berapa uang yang harus dikeluarkan. Mau minta antar tetangga segan. Apalagi pernah ke sana saya dimintai biaya 25 ribu rupiah. Biasanya gratis," jelasnya.

Ia mengaku lupa kapan ke rumah sakit terakhir kali untuk mengambil obat. "Jangankan untuk bayar transport dan bayar 25 ribu, saya sehari dapatkan uang 5.000 saja susah. Karena tidak mungkin mengandalkan orangtua saya yang hanya buruh tani dan juga sudah sepuh," jelasnya.

Ia juga menyembunyikan penyakitnya itu dari kedua orangtuanya. "Agar mereka tidak kepikiran. Cukup saya saja yang menanggung penyakit ini," katanya.

Secara fisik, YM terlihat sehat seperti orang pada umumnya. Dia berusaha menjaga pola hidup sehat walaupun berat tubuhnya turun drastis.

"Gimana caranya tidak terlalu capek. Rasanya pingin sekali sembuh, tapi lagi-lagi saya nggak ada biaya," jelasnya dengan suara pelan.

Saat ditanya apakah ia mempunyai kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dia menggeleng kepala dan mengaku tidak tahu. "Saya nggak paham," tutur perempuan lulusan SMP tersebut.

Hal senada juga diungkapkan G (37). Ia terdeteksi HIV AIDS sejak 2011. Saat ini, pria yang sebelumnya bekerja sebagai nelayan itu tinggal bersama kerabatnya. Istri dan anak-anaknya pergi meninggalkan G saat mereka tahu penyakit yang dideritanya.

Awalnya G mengaku rutin memeriksakan diri, tetapi kondisi kesehatannya yang semakin menurun, membuat dia sulit bergerak. Jangankan untuk memeriksakan kesehatan, untuk berjalan saja G harus dibantu oleh keluarganya.

"Sekarang sudah jadi kembange amben (bunganya tempat tidur). Nggak bisa kemana-mana," jelasnya.

"Untuk biaya hidup sehari-hari saya numpang sama keluarga di sini karena saya sudah nggak kuat bekerja. Jangan bicara buat berobat, bisa makan saja saya beruntung," katanya.

Kepada Kompas.com ia juga menunjukkan kulit tubuhnya yang sudah mulai terluka. "Apalagi ini sudah sariawan, jadi susah makannya. Cuma bubur, itu pun buat nelan sakit," katanya.

Belum terlayani dengan baik

Sementara itu, Novan Widianto Koordinator Banyuwangi Community Suport yang mendampingi penderita HIV AIDS kepada Kompas.com mengaku masih banyak penderita HIV/AIDS yang masih belum terlayani secara baik.

Apalagi, kata Novan, sejak munculnya Perda No 12 tahun 2013 tentang Retribusi Jasa Umum per Maret 2014. Untuk mendapatkan pelayanan care support and treatment atau pengobatan dampingan dan perawatan, mereka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 25.000. Padahal sebelumnya gratis.

"Sedangkan mereka yang dinyatakan positif, minimal satu bulan sekali harus datang untuk konsultasi dan juga obat," jelasnya.

Bukan hanya itu, VCT di RSUD Genteng yang awalnya gratis pun ditarik biaya. Untuk nonreaktif, biayanya Rp 87.450 dengan rincian karcis Rp 10.000, jasa konseling pre dan post test Rp 25.000 serta cek reagen 1 sebesar Rp 52.450.

"Sedangkan jika reaktif, maka biaya yang harus dikeluarkan lebih besar yaitu Rp 192.350. Itu tambahan untuk reagen II dan reagen III dengan biaya masing-masing Rp 52.450," jelas Novan sambil menunjukkan lembaran pemberitahuan tarif jasa layanan konseling dan testing HIV/AIDS pasien rawat jalan, kepada Kompas.com.

Novan mengaku banyak dampingannya yang merasa kecewa dengan penarikan biaya tersebut. Menurutnya, VCT itu sebenarnya sifatnya sukarela, jadi tidak bisa dipaksa. Mereka yang berisiko, saat diantar untuk tes, tidak sedikit yang balik kanan karena harus mengeluarkan biaya.

"Itu baru yang test VCT. Belum lagi jika mereka dinyatakan positif yang juga dikenai biaya 25 ribu setiap kali berkunjung untuk konsultasi. Hampir sebagian besar, ya keberatan," jelasnya.

Apalagi, sebelumnya, menurut Novan, sosialiasasi dan eduksi terkait penarikan biaya tersebut masih minim. "Padahal selama ini kami memberikan informasi jika VCT gratis dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sendiri mempunyai target tahun 2015, pelayanan VCT di Banyuwangi sudah 100 persen," tuturnya.

Harus bayar jasa konseling

Saat dikonfirmasi, Samsul Hidayat, koodinator VCT RSUD Genteng menyatakan, obat untuk penderita HIV/AIDS yaitu ARV (antiretroviral) adalah gratis. Sementara biaya Rp 25.000 merupakan kebijakan dari rumah sakit untuk biaya  karcis dan jasa konseling.

"Mereka juga bisa melakukan VCT di beberapa puskesmas tanpa biaya. Ada 15 puskesmas yang sudah melayani VCT. Sedangkan untuk RSUD Genteng sendiri melakukan koordinasi dengan 6 pusksesmas yang juga melayani VCT, yaitu Sempu, Grajagan, Purwoharjo, Muncar, Pesanggaran dan Bangorejo. Jika mereka dinyatakan positif maka akan di arahkan ke sini," jelasnya.

Samsul Hidayat mengaku per Desember 2013, ada 726 pasien yang ditangani. "Jika dibuat rata-rata ada 15 pasien temuan baru," jelasnya.

Ia menjelaskan, selama penerapan BPJS per 1 Januari 2014, pelayanan terhadap penderita HIV/AIDS sedikit ada perubahan.

"Karena HIV/AIDS tidak masuk dalam kategori penyakit yang dilayani. Yang bisa dilayani, penyakit turunan seperti penyakit kulit, sariawan dan juga TBC, karena sebagian besar penderita HIV AIDS juga terkena penyakit tersebut," jelasnya.

Untuk pelayanannya, lanjut Samsul Hidayat, mereka harus dapat rekomendasi dari puskesmas terlebih dahulu, ditujukan ke poli, baru kemudian diarahkan ke poli VCT. "Kalau sebelumnya, ya langsung tanpa rekomendasi dari puskesmas," tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan Plt Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, Wiji Lestariono. Kepada Kompas.com, ia menjelaskan, penarikan retribusi merupakan kebijakan dari rumah sakit.

"HIV/AIDS di Banyuwangi sementara dibiayai berbagai sumber-sumber internasional dari global fund. Tapi ini tidak selamanya, karena pada tahun 2015 nanti bantuan ini akan berhenti," katanya.

Menurutnya, setiap tahun juga ada penurunan jumlah bantuan, sehingga pihaknya harus mempersiapkan bagaimana caranya agar bisa mandiri.

"Salah satunya ya memasukkan anggaran khusus di tahun 2015 untuk pencegahan HIV/AIDS," jelasnya.

Untuk tahun 2014, ia mengaku belum ada anggaran khusus untuk membiayai para penderita HIV/AIDS. "Nanti anggaran akan dimasukkan di pencegahan dan pemberantasan penyakit," katanya.

Pria yang akrab disapa dokter Rio ini juga menjelaskan, hingga Januari 2014, terdapat 1.703 penderita HIV/AIDS di Banyuwangi.

"Kalau Surabaya memang jumlah penduduknya lebih banyak dibandingkan Banyuwangi. Malang juga mobilitasnya penduduknya tinggi. Namun hingga tahun 2014 ini, Banyuwangi berada di posisi ketiga tertinggi di Jawa Timur setelah Surabaya dan Malang," pungkasnya.
...more

Friday, March 28, 2014

Caleg Non-Muslim Pakai Kata "Bismillah", Ribuan Orang Demo

Kompas.com - Ribuan warga di Malang menggelar aksi unjuk rasa ke KPU Kabupaten Malang sebagai bentuk protes atas ulah Ketua Komisi III DPR RI Pieter C Zulkifli, yang juga calon legislatif dari Partai Demokrat, untuk daerah pemilihan Malang Raya.

Pieter dituding telah melakukan pelecehan dan penistaan terhadap agama Islam.

Ribuan orang yang terdiri dari santri dari berbagai pondok pesantren di Malang, massa HMI, PMII, dan ormas kepemudaan di Malang Raya, tergabung dalam Kaukus Pemuda Malang Raya (KPMR), bergerak menuju Kantor KPU Kabupaten Malang, Selasa (25/3/2014).

Koordinator aksi, Muhlis, mengungkapkan, aksi tersebut menuntut Partai Demokrat untuk mencoret nama Pieter C Zulkifli Simabuea dari daftar calon legislatif.

"Pieter juga harus minta maaf kepada seluruh umat Islam di Indonesia, dan Malang Raya khususnya, karena ia jelas telah menistakan agama Islam dan merugikan serta membohongi umat Islam dengan memasang kalimat 'bismillahirrahmanirrahim' di banner yang dibuatnya dan dipasang di beberapa jalan di Malang Raya," kata Muhlis.

Dalam syariat Islam, kata "bismillah" itu adalah hal yang agung dan termasuk ayat Al Quran, yang wajib diagungkan oleh umat Islam, sementara Pieter merupakan non-Muslim.

"Karena, di dalamnya ada kalimat 'Allah'. Menurut Imam Syafi'i, mazhab Syafi'i, yang mayoritas diikuti oleh kaum Nahdliyin, ajaran mayoritas masyarakat Malang Raya, kalimat 'bismillah' adalah masuk ayat Al Quran yang wajib diagungkan," kata dia lagi.

"Pemasangan kalimat 'bismillah' itu jelas hanya untuk kepentingan mendulang atau meraih suara sebanyak-banyaknya dari warga Malang Raya yang mayoritas beragama Islam," kata dia.

Melihat hal tersebut, kata Muhlis, ulah Pieter pantas dikategorikan sebagai perbuatan penistaan agama.

"Masuk kategori menjual ayat-ayat agama demi kepentingan individunya. Jelas Pieter telah melakukan pelecehan dan penistaan agama," kata Muhlis.
...more

Thursday, March 27, 2014

Oknum TNI Akui Pinjamkan Senjata untuk Serang Posko Nasdem di Aceh

Kompas.com - Anggota Batalyon 111/Raider Kodam Iskandar Muda (IM) Aceh, Praka Heri, mengakui bahwa dirinya terlibat dalam kasus penembakan terhadap Posko Pemenangan Zubir HT, calon anggota legislatif asal Partai Nasdem, di Aceh Utara pada 16 Februari 2014.

Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen TNI Andika Perkasa mengatakan, pengakuan itu disampaikan Heri setelah menjalani pemeriksaan di Polisi Militer Kodam IM Aceh. Selain Heri, penyidik juga memeriksa dua orang lain yang sebelumnya telah ditangkap Polda Aceh, yaitu Rasyidin alias Mario dan Umar.

Dari pengakuan ketiganya, menurut Andika, Heri meminjamkan senjata itu kepada Rasyidin. Adapun jenis senjata yang dipinjamkan adalah Senapan Serbu (SS)-2 V1. Heri mengaku tak dapat menolak permintaan Rasyidin karena keduanya merupakan teman baik yang cukup lama saling mengenal.

"Mereka adalah teman yang sudah kenal lama, baik untuk berburu maupun menggunakan narkoba," kata Andika melalui pesan singkat kepada Kompas.com, Selasa (25/3/2014) malam.

Menurut Andika, saat meminjamkan senjata, Heri berada di bawah pengaruh narkoba. "Saat meminjamkan senjata pun Praka Heri dalam pengaruh narkoba dan ketika diperiksa, Praka Heri positif menggunakan narkoba," kata Andika.

Andika mengatakan, TNI AD akan mengambil langkah tegas terhadap prajurit yang bertugas mengamankan obyek vital di Exxon, Aceh Utara, itu. Ia mengatakan, Kepala Staf TNI AD Jenderal Budiman telah memerintahkan Komandan Pusat Polisi Militer TNI AD untuk memproses hukum Praka Heri.

"(Praka Heri) kemudian menjalani hukuman penjaranya di Jakarta, dan kemudian dilanjutkan dengan pemecatan dari dinas aktif TNI AD," kata dia.
...more

Monday, March 17, 2014

Kadiskes DKI: Penderita Kanker Tak Perlu Dirawat di RS

Dien Emawati
Kompas.com - Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati mengatakan, pihaknya segera melakukan audit medis terhadap rumah sakit umum daerah (RSUD) Tarakan. Hal itu menyusul meninggalnya seorang bocah 10 tahun bernama Andre Safa Gunawan, warga Kebon Jeruk, Sabtu (8/3/2014). Andre dikatakan ditolak oleh RSUD terbaik milik Pemprov DKI Jakarta itu.

Dari audit medis tersebut, kata Dien, nantinya akan diketahui apakah ada kelalaian dari petugas di rumah sakit tersebut dalam penanganan pasien. Kelalaian sendiri dapat dilihat dari penyakit yang dialami si pasien.

"Itu akan kita lakukan audit medis. Saya tidak bisa mengatakan salah atau benar sebelum dilakukan audit medis. Pasien meninggalnya kapan? Sabtu. Jadi, belum ada konfirmasi audit medis. Baru hari senin ini akan dilakukan rapat medis di RS Tarakan," kata Dien di Balaikota Jakarta, Senin (10/3/2014).

"Kalau penyakitnya parah kaya' kanker itu sebetulnya tidak harus di RS, tapi cukup dengan kasih sayang keluarga. Nah, itu yang harus kita selidiki apakah dia meninggalnya karena kelalaian RS atau memang karena penyakitnya yang parah," katanya lagi.

Meski demikian, Dien menegaskan bahwa RSUD Tarakan adalah rumah sakit tipe-A, yang dapat menangani penyakit-penyakit parah seperti kanker, bedah tumor, bedah kepala, bedah jatung, maupun bedah perut.

"Diharapkan, kalau masuk RS Tarakan tidak boleh lagi rujuk. Kecuali ada perkembangan diagnosa baru yang dia butuh second opinion yang lebih tinggi, misalnya membutuhkan penanganan ahli medis dari luar negeri," ujarnya.

Sebelumnya, di IGD rumah sakit tersebut, dokter mendiagnosa menderita tumor. Andre pun disarankan dibawa ke ruang khusus untuk menerima tindakan medis. Ketika sampai di ruang itu, Andre justru malah kembali dirujuk ke IGD.

Setelah di IGD, Andre dikatakan tidak menerima tindakan medis apa pun. Ia hanya dibiarkan begitu saja. Akhirnya, seorang petugas keamanan menyarankan orangtua Andre untuk membawanya pulang ke rumah. Di dalam perjalanan pulang itulah, ia menghembuskan nafas terakhirnya.
...more

Sunday, March 16, 2014

Hakim Akui Foto Pesta Seks Tak Sesuai dengan Norma Islam, Tapi Bukan Zina

Saifudin, Muhyar, dan Fitriyel Hanif
Detik.com - Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang, mengakui S (suami) telah melakukan pesta seks sesuai bukti foto yang diajukan N (istri) dan tidak sesuai dengan norma Islam. Namun majelis hakim menilai pesta seks tersebut bukanlah zina sehingga tidak bisa dijadikan alasan perceraian.

"Meskipun bukti itu telah dibantah S, namun bukti foto, BBM dan SMS telah diuji forensik oleh ahli di bidang IT forensik dari ITB. Oleh karenanya alat bukti tersebut dapat diterima sebagai bukti yang sah karena telah terpenuhi syarat formil dan syarat materiil," putus majelis majelis hakim yang terdiri dari Saifudin, Muhyar dan Fitriyel Hanif seperti detikcom kutip dari berkas putusan, Kamis (6/3/2014).

Meski demikian, foto tersebut belum dimasukkan kategori bukti adanya zina. Sebab zina adalah masuknya alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan dengan syarat ada 4 orang saksi yang melihat langsung. Foto tersebut hanya berisi orang ciuman, seks oral dan adegan seronok lainnya antara S dengan para PSK.

"Dalam perkara a quo, faktanya tidak jelas-jelas menunjukkan terhadap adanya perbuatan zina yang dilakukan Tergugat. Walaupun dalam sisi pergaulan, dilihat dari fakta tersebut, tidak bisa dipungkiri S telah melampaui batas-batas pergaulan secara etika Islam," ujar majelis yang dibacakan dalam sidang terbuka pada 25 Februari 2014 lalu.

Saifudin, Muhyar dan Fitriyel Hanif menilai foto tersebut memiliki nilai pembuktian. Namun majelis telah melihat, membaca dan memperhatikan foto tersebut tidak terdapat unsur-unsur perbuatan zina.

"Oleh karenanya, dalil penggugat yang mendasari alasan perceraian karena N suka berbuat zina dengan PSK, dinyatakan tidak terbukti," ucap majelis.

Kasus bermula saat S menikahi N pada 10 September 1994 silam. Dari pernikahan itu lalu keduanya dikaruniai dua anak YM (16) dan RR (12). Rumah tangga yang awalnya harmonis tiba-tiba dilanda badai yang cukup serius. Si suami, S, ternyata suka jajan. N lalu menggugat cerai dengan bukti pesta seks si suami tapi ditolak pengadilan.
...more

Saturday, March 15, 2014

Menag: MUI Tak Perlu Laporkan Pendapatan dari Proses Sertifikasi Halal

Kompas.com - Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak perlu melaporkan pendapatannya dari proses sertifikasi halal. Menurut Suryadharma, posisi MUI seperti pihak swasta yang tidak memiliki tanggung jawab melaporkan dana kepada pemerintah.

"MUI tidak perlu mempertanggungjawabkan (pendapatannya) pada pemerintah melalui Kementerian Agama. Analogi saya, MUI itu seperti rumah sakit swasta," kata Suryadharma di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/3/2014).

Ia menjelaskan, ibarat sebuah rumah sakit swasta, MUI juga mengeluarkan dana untuk investasi pembelian alat dan pembiayaan ahli yang diterjunkan dalam proses pemberian sertifikasi halal. Atas dasar itu, tak ada kewajiban bagi MUI untuk melaporkan pendapatannya dari proses tersebut.

"Sama dengan rumah sakit swasta. Beli alat rontgen, laboratorium, lalu hasilnya tidak dilaporkan ke Kementerian Kesehatan karena investasi sendiri," ujarnya.

Meski demikian, ia menilai proses pemberian sertifikasi halal ini perlu ditertibkan. Hal ini diwujudkan dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang masih terus dibahas di DPR. Dalam RUU tersebut diatur mengenai biaya sertifikasi sampai pada lembaga yang menanganinya. Pendapatan dari proses itu akan masuk ke kas negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Seperti diberitakan, masalah pemberian sertifikasi halal masih menuai sorotan. RUU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum diselesaikan pembahasannya hingga menjelang berakhirnya masa tugas periode 2009-2014.

Belum selesainya pembahasan RUU tersebut dikarenakan masih adanya perdebatan antara DPR dan pemerintah. Perdebatan itu mengenai apakah sertifikasi produk halal itu diwajibkan atau bisa dilakukan secara sukarela. RUU itu juga mengatur mengenai tarif pemberian sertifikasi yang akan dimasukkan dalam PNBP. Selama ini penerimaan dari proses sertifikasi selalu masuk ke kantong MUI dan belum pernah ada mengenai laporan pendapatannya.

Hal lain yang menuai banyak perdebatan adalah ketika RUU akan mengatur mengenai lembaga yang akan memberikan sertifikasi halal. Perdebatan ini terjadi di internal Komisi VIII maupun dengan pemerintah. Akhirnya, pembahasan tak kunjung selesai dan pengesahan terancam kembali diundur.
...more

Saturday, March 01, 2014

MUI: Bisnis Kuburan Mewah, Haram!

Detik.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyoroti masalah jual beli tanah untuk kuburan dan pembangunan kuburan mewah di masyarakat muslim. Dalam fatwa terbaru, MUI mengharamkan jual beli lahan kuburan di kalangan muslim yang terdapat unsur berlebih-lebihan dan sia-sia.

"Jual beli dan bisnis lahan untuk kepentingan kuburan mewah yang terdapat unsur tabdzir dan israf hukumnya haram," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, Asrorun Niam Sholeh dalam siaran pers MUI yang disampaikannya kepada wartawan, Selasa (25/2/2014).

Kuburan mewah yang dimaksud dalam fatwa ini adalah kuburan yang mengandung unsur tabdzir dan israf, baik dari segi luas, harga, fasilitas, maupun nilai bangunan. Tabdzir adalah menggunakan harta untuk sesuatu yang sia-sia dan tidak bermanfaat menurut ketentuan syar’i ataupun kebiasan umum di masyarakat. Sementara Israf adalah tindakan yang berlebih-lebihan, yaitu penggunaan lahan melebihi kebutuhan pemakaman.

Asrorun menjelaskan, jual beli lahan untuk kepentingan kuburan dibolehkan sepanjang sesuai ketentuan, antara lain syarat dan rukun jual beli terpenuhi; dilakukan dengan prinsip sederhana, tidak mendorong adanya tabdzir, israf, dan perbuatan sia-sia, yang memalingkan dari ajaran Islam; kavling kuburan tidak bercampur antara muslim dan non-muslim; penataan dan pengurusannya dijalankan sesuai dengan ketentuan syariah; dan tidak menghalangi hak orang untuk memperoleh pelayanan penguburan.

"Umat Islam diminta untuk tidak larut dalam perilaku tabdzir, israf, serta perbuatan sia-sia dengan membeli kavling pekuburan mewah," tuturnya.

Asrorun juga mengatakan, menguburkan jenazah bagi muslim adalah wajib kifayah. Karena itu Pemerintah wajib menyediakan lahan untuk pemakaman umum. Setiap orang muslim juga boleh menyiapkan lahan khusus sebagai tempat untuk dikuburkan saat dirinya meninggal, dan boleh berwasiat untuk dikuburkan di tempat tertentu sepanjang tidak menyulitkan.

"Pemerintah harus menyiapkan dan menjamin ketersediaan lahan kuburan bagi warga masyarakat serta pemeliharaannya, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariah, di antaranya tidak mencampur antara pemakaman muslim dengan non-muslim," jelasnya.

"Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat yang terkait dengan kegiatan penyediaan lahan kuburan agar menjadikan fatwa ini sebagai pedoman," tutupnya.
...more